JL.Tentara Pelajar,No.48,Kompleks Islamic Centre,Kembaran,Kebumen. Phone : 0287-386709

Rabu, 18 Maret 2015

Tajdidunniat

Tajdidunniat berasal dari bahasa Arab. Akar katanya adalah “tajada” yang memiliki arti memperbarui dan “an nait” yang berarti niat atau tujuan. Sebagai bentuk susunan idhofah, tajdidunniat memiliki arti memperbarui niat. Artinya, jika kita melakukan suatu pekerjaan untuk mendapatkan kesenangan duniawi maka kita perlu mengoreksi diri dan memperbarui niat kita. Niat yang ditujukan hanya untuk mendapat keridloan dari Allah swt.
Manusia sebagai makhluk yang lemah, yang diciptakan dengan segala hawa nafsu sangatlah wajar jika ingin mendapatkan kesenangan yang terlihat dan terasa di dunia fana ini. Namun, akal dan iman kita menjadi kontrol nafsu manusiawi. Tidaklah munafik jika kita hidup membutuhkan dunia, membutuhkan uang. Bekerja untuk mendapatkan uang adalah
hal yang wajar dan hampir semuanya berpendapat bahwa itulah tujuan bekerja. Tapi ingatlah, jika kita menomorsatukan uang dan bayaran dalam bekerja maka hanya itulah  yang kita dapatkan. Bahkan, jika bayaran yang diperoleh tidak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan tidak sering dan tidak jarang dari kita yang nggrundel dan akhirnya berbuntut pada pembicaraan yang tidak enak. Kelelahan  fisik dan hatilah yang hanya akan kita peroleh. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya tajdidunniat. Mengembalikan niat kita dalam melakukan segala sesuatu hanya karena Allah swt.
Tajdidunniat tidak memandang siapa, apa pekerjaannya, kapan dan di mana. Istilah ini berlaku untuk semuanya. Kita yang mengaku sebagai guru, tenaga pendidik, sudah selayaknya sering melakukan tajdidunniat. Karena, tidak ayal lagi sering terbersit niat yang kurang sesuai dalam melakukan profesi guru. Apalagi untuk guru honorer yang masih mengandalkan upah dari sekolah. Pekerjaan guru honorer bahkan bisa lebih berat bila dibandingkan guru yang sudah PNS. Namun, bayaran yang diterima tidaklah seimbang. Jika kita hanya memikirkan bayaran maka sudah pasti kita tidak ikhlas dalam melakukan pekerjaan kita. Padahal, ingatlah bahwa seorang guru bukanlah sekadar profesi yang mengajari anak menulis dan berhitung, sekadar transfer ilmu pengetahuan.
Guru adalah seorang figur, yang menanamkan pendidikan kepada anak didiknya. Yang memiliki tanggung jawab terhadap masa depan anak bangsa. Memilih profesi guru berarti siap untuk mengentaskan kebodohan dan kerusakan moral anak bangsa. Tugas tersebut terdengar mudah namun sangat berat. Menjadi seorang guru memerlukan keikhlasan hati menghadapi berbagai karakter anak didik yang sudah pasti beraneka macam. Jika niat kita menjadi guru hanya untuk mendapatkan bayaran yang besar, (PNS mendapatkan gaji yang besar) maka ada baiknya kita segera melakukan tajdidunniat. Ditambah dengan keinginan mendapatkan penilaian yang baik dari atasan atau ingin dipandang lebih tinggi derajatnya di mata manusia. Apabila hal itu yang kita harapkan dan tidak terwujud maka hanya hati yang tidak ikhlaslah yang selalu membersamai pekerjaan kita. Mengungkit−ungkit berapa banyak keringat yang telah kita keluarkan, berapa banyak tenaga untuk mendampingi anak belajar, dan berapa lama waktu yang kita habiskan di sekolah. Hati yang tidak ikhlas dan selalu menghadapkan pada niat duniawi hanya akan mendapatkan bayaran uang yang menurutnya saja tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan. Tidak lebih dari itu. Akhirnya, yang terjadi hanyalah kelelahan fisik dan hati. Keberkahan dan ridlo Allah akan tertutupi oleh uang bayaran.
Oleh sebab itu, marilah kita yang mengaku sebagai guru bersama−sama mengoreksi niat kita. Sudah luruskah? Sudahkah mendidik dengan ikhlas hanya karena Allah? Tidaklah mudah melakukan istilah ini karena masih sering nafsu manusiawi menguasai diri kita. Itulah perlunya sering melakukan dzikrullah dan introspeksi diri. Wallahu a’lamubishawab. Semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua. (Ustadzah Laeli Azizah)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar