JL.Tentara Pelajar,No.48,Kompleks Islamic Centre,Kembaran,Kebumen. Phone : 0287-386709

Selasa, 17 Maret 2015

Menjual Sekolah?

Pekan lalu, seorang teman guru dari sekolah bertanya kepada saya, “Apa sih yang dijual Al Madinah?”
Saya pun diam, berpikir. Lalu, saya jawab, “Saya hanya menjual cita-cita. Setiap anak akan survive hidup di zamannya.”
Ia menimpali, “Bukan itu. Maksud saya, pembelajarannya atau pelayanannya yang dijual? Atau mungkin semuanya?”
Saya hanya bisa diam. Kali ini, saya bingung.
Penyebab kebingungan saya lebih karena mencerna kata ‘menjual’. Apakah kata ‘menjual’ yang dimaksud bermakna denotatif ataukah konotatif?
Dalam beberapa tahun belakangan ini, seiring perkembangan beberapa sekolah (terutama swasta), istilah ‘penjualan sekolah’ semakin ramai diperbincangkan. Ruang kuliah ataupun ruang pelatihan menjadi saksi betapa istilah tersebut diperdalam sekaligus diperdebatkan. Karena bagaimanapun, istilah tersebut dapat menjadi istilah dengan dualisme arti. Makna pertama bermakna pengenalan sekolah ke khalayak. Makna kedua bermakna menjadikan sekolah sebagai institusi yang –sadar ataupun tidak- berorientasi profit.
Sekilas, akan didapati pemahaman yang cenderung positif pada makna pertama. Sekolah perlu diperkenalkan kepada publik. Sehingga, publik mengetahui keberadaan sekolah, tertarik, lalu berbondong-bondong mendaftarkan putra-putrinya ke sekolah tersebut.
Adapun pada makna kedua, setiap orang akan cenderung mengatakan bahwa makna tersebut adalah makna negatif. Setiap sekolah wajib menghindarinya. Karena bagaimanapun, sekolah bukanlah institusi bisnis.
Meskipun demikian, pemaknaan pertama ternyata masih mengandung potensi berbahaya yang perlu diwaspadai. Pertama, bagaimana cara mengenalkan sekolah? Tentu ada cara-cara yang perlu ditempuh dan ada cara-cara yang perlu dihindari. Kedua, apakah sekolah tetap menjadi dirinya sendiri dalam proses mengenalkan dirinya ke publik? Karena bagaimanapun, setiap lembaga memiliki keunikannya sendiri. Ada nilai dan historis yang melandasi pendirian dan perkembangannya. Apabila cara mengenalkan diri sekolah tersebut disamakan, atau bahkan sekolah memaksakan diri meniru orang lain, lunturlah segala kebijaksaan (wisdom) yang dimilikinya. Sekolah menjadi kehilangan jati diri. Ini menjadi sesuatu yang berbahaya. Pengembangan sekolah berikutnya dapat menapaki jalan yang berbeda dengan nilai dan historis yang dimilikinya. Bahkan, sejumlah pakar mengatakan situasi organisasi yang berbeda dengan awal pendiriannya, lalu menjadi sama dengan organisasi-organisasi semisalnya, dapat menjadi awal kemunduran (minimal stagnasi) organisasi tersebut. Ketiga, apakah ‘menjual sekolah’ berarti menyiapkan sebagian murid menjadi artis yang memainkan iklan perkenalan sekolah ke publik? Diarahkan kemanakah murid-murid lainnya? Bukankah sekolah perlu menjadi tempat yang mendewasakan seluruh murid dan itu bukan untuk ditampilkan, tapi menjadi bagian integral dalam diri mereka?
Saya pun semakin ingin merenungkan kata ‘menjual sekolah’. Saya ingin mencapai pemaknaan yang benar-benar positif. Mohon doa dari segenap pembaca, semoga Allah Ta’ala segera memberi itu, amin. (Ustadz Fu’ad Fahrudin)  
Share:

0 komentar:

Posting Komentar