Pekan lalu, seorang teman guru
dari sekolah bertanya kepada saya, “Apa sih
yang dijual Al Madinah?”
Saya pun diam, berpikir. Lalu,
saya jawab, “Saya hanya menjual cita-cita. Setiap anak akan survive hidup di zamannya.”
Ia menimpali, “Bukan itu. Maksud
saya, pembelajarannya atau pelayanannya yang dijual? Atau mungkin semuanya?”
Saya hanya bisa diam. Kali ini,
saya bingung.
Penyebab kebingungan saya lebih
karena mencerna kata ‘menjual’. Apakah kata ‘menjual’ yang dimaksud bermakna
denotatif ataukah konotatif?
Dalam beberapa tahun belakangan
ini, seiring perkembangan beberapa sekolah (terutama swasta), istilah
‘penjualan sekolah’ semakin ramai diperbincangkan. Ruang kuliah ataupun ruang
pelatihan menjadi saksi betapa istilah tersebut diperdalam sekaligus
diperdebatkan. Karena bagaimanapun, istilah tersebut dapat menjadi istilah
dengan dualisme arti. Makna pertama bermakna pengenalan sekolah ke khalayak.
Makna kedua bermakna menjadikan sekolah sebagai institusi yang –sadar ataupun
tidak- berorientasi profit.
Sekilas, akan didapati pemahaman
yang cenderung positif pada makna pertama. Sekolah perlu diperkenalkan kepada
publik. Sehingga, publik mengetahui keberadaan sekolah, tertarik, lalu
berbondong-bondong mendaftarkan putra-putrinya ke sekolah tersebut.
Adapun pada makna kedua, setiap
orang akan cenderung mengatakan bahwa makna tersebut adalah makna negatif.
Setiap sekolah wajib menghindarinya. Karena bagaimanapun, sekolah bukanlah
institusi bisnis.
Meskipun demikian, pemaknaan
pertama ternyata masih mengandung potensi berbahaya yang perlu diwaspadai.
Pertama, bagaimana cara mengenalkan sekolah? Tentu ada cara-cara yang perlu
ditempuh dan ada cara-cara yang perlu dihindari. Kedua, apakah sekolah tetap
menjadi dirinya sendiri dalam proses mengenalkan dirinya ke publik? Karena
bagaimanapun, setiap lembaga memiliki keunikannya sendiri. Ada nilai dan
historis yang melandasi pendirian dan perkembangannya. Apabila cara mengenalkan
diri sekolah tersebut disamakan, atau bahkan sekolah memaksakan diri meniru
orang lain, lunturlah segala kebijaksaan (wisdom)
yang dimilikinya. Sekolah menjadi kehilangan jati diri. Ini menjadi sesuatu
yang berbahaya. Pengembangan sekolah berikutnya dapat menapaki jalan yang
berbeda dengan nilai dan historis yang dimilikinya. Bahkan, sejumlah pakar
mengatakan situasi organisasi yang berbeda dengan awal pendiriannya, lalu
menjadi sama dengan organisasi-organisasi semisalnya, dapat menjadi awal
kemunduran (minimal stagnasi) organisasi tersebut. Ketiga, apakah ‘menjual sekolah’
berarti menyiapkan sebagian murid menjadi artis yang memainkan iklan perkenalan
sekolah ke publik? Diarahkan kemanakah murid-murid lainnya? Bukankah sekolah
perlu menjadi tempat yang mendewasakan seluruh murid dan itu bukan untuk
ditampilkan, tapi menjadi bagian integral dalam diri mereka?
Saya pun semakin ingin merenungkan kata ‘menjual sekolah’. Saya ingin
mencapai pemaknaan yang benar-benar positif. Mohon doa dari segenap pembaca,
semoga Allah Ta’ala segera memberi itu, amin. (Ustadz Fu’ad Fahrudin)
0 komentar:
Posting Komentar