Tajdidunniat berasal dari
bahasa Arab. Akar katanya adalah “tajada” yang memiliki arti memperbarui dan
“an nait” yang berarti niat atau tujuan. Sebagai bentuk susunan idhofah, tajdidunniat
memiliki arti memperbarui niat. Artinya, jika kita melakukan suatu pekerjaan
untuk mendapatkan kesenangan duniawi maka kita perlu mengoreksi diri dan
memperbarui niat kita. Niat yang ditujukan hanya untuk mendapat keridloan dari
Allah swt.
Manusia sebagai makhluk yang lemah, yang diciptakan dengan segala
hawa nafsu sangatlah wajar jika ingin mendapatkan kesenangan yang terlihat dan
terasa di dunia fana ini. Namun, akal dan iman kita menjadi kontrol nafsu
manusiawi. Tidaklah munafik jika kita hidup membutuhkan dunia, membutuhkan
uang. Bekerja untuk mendapatkan uang adalah
hal yang wajar dan hampir semuanya berpendapat bahwa itulah tujuan bekerja. Tapi ingatlah, jika kita menomorsatukan uang dan bayaran dalam bekerja maka hanya itulah yang kita dapatkan. Bahkan, jika bayaran yang diperoleh tidak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan tidak sering dan tidak jarang dari kita yang nggrundel dan akhirnya berbuntut pada pembicaraan yang tidak enak. Kelelahan fisik dan hatilah yang hanya akan kita peroleh. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya tajdidunniat. Mengembalikan niat kita dalam melakukan segala sesuatu hanya karena Allah swt.
hal yang wajar dan hampir semuanya berpendapat bahwa itulah tujuan bekerja. Tapi ingatlah, jika kita menomorsatukan uang dan bayaran dalam bekerja maka hanya itulah yang kita dapatkan. Bahkan, jika bayaran yang diperoleh tidak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan tidak sering dan tidak jarang dari kita yang nggrundel dan akhirnya berbuntut pada pembicaraan yang tidak enak. Kelelahan fisik dan hatilah yang hanya akan kita peroleh. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya tajdidunniat. Mengembalikan niat kita dalam melakukan segala sesuatu hanya karena Allah swt.
Tajdidunniat tidak
memandang siapa, apa pekerjaannya, kapan dan di mana. Istilah ini berlaku untuk
semuanya. Kita yang mengaku sebagai guru, tenaga pendidik, sudah selayaknya
sering melakukan tajdidunniat. Karena, tidak ayal lagi sering terbersit
niat yang kurang sesuai dalam melakukan profesi guru. Apalagi untuk guru
honorer yang masih mengandalkan upah dari sekolah. Pekerjaan guru honorer
bahkan bisa lebih berat bila dibandingkan guru yang sudah PNS. Namun, bayaran
yang diterima tidaklah seimbang. Jika kita hanya memikirkan bayaran maka sudah
pasti kita tidak ikhlas dalam melakukan pekerjaan kita. Padahal, ingatlah bahwa
seorang guru bukanlah sekadar profesi yang mengajari anak menulis dan
berhitung, sekadar transfer ilmu pengetahuan.
Guru adalah seorang figur, yang menanamkan pendidikan kepada anak
didiknya. Yang memiliki tanggung jawab terhadap masa depan anak bangsa. Memilih
profesi guru berarti siap untuk mengentaskan kebodohan dan kerusakan moral anak
bangsa. Tugas tersebut terdengar mudah namun sangat berat. Menjadi seorang guru
memerlukan keikhlasan hati menghadapi berbagai karakter anak didik yang sudah
pasti beraneka macam. Jika niat kita menjadi guru hanya untuk mendapatkan
bayaran yang besar, (PNS mendapatkan gaji yang besar) maka ada baiknya kita
segera melakukan tajdidunniat. Ditambah dengan keinginan mendapatkan
penilaian yang baik dari atasan atau ingin dipandang lebih tinggi derajatnya di
mata manusia. Apabila hal itu yang kita harapkan dan tidak terwujud maka hanya
hati yang tidak ikhlaslah yang selalu membersamai pekerjaan kita.
Mengungkit−ungkit berapa banyak keringat yang telah kita keluarkan, berapa
banyak tenaga untuk mendampingi anak belajar, dan berapa lama waktu yang kita
habiskan di sekolah. Hati yang tidak ikhlas dan selalu menghadapkan pada niat
duniawi hanya akan mendapatkan bayaran uang yang menurutnya saja tidak
sebanding dengan apa yang sudah dilakukan. Tidak lebih dari itu. Akhirnya, yang
terjadi hanyalah kelelahan fisik dan hati. Keberkahan dan ridlo Allah akan
tertutupi oleh uang bayaran.
Oleh
sebab itu, marilah kita yang mengaku sebagai guru bersama−sama mengoreksi niat
kita. Sudah luruskah? Sudahkah mendidik dengan ikhlas hanya karena Allah? Tidaklah
mudah melakukan istilah ini karena masih sering nafsu manusiawi menguasai diri
kita. Itulah perlunya sering melakukan dzikrullah dan introspeksi diri. Wallahu
a’lamubishawab. Semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua. (Ustadzah Laeli Azizah)
0 komentar:
Posting Komentar